Sabtu, 07 September 2019

Press Release Resensi Intensif: Demokrasi Kita

Pada sore hari tanggal 23 Agustus 2019, Divisi Kajian kembali mengadakan resensi intensif dengan tema “Demokrasi Kita” yang dibawakan ole A.M Fatwa A. Rahman bertempat di sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa Keilmuan dan Penalaran Ilmiah (UKM KPI Unhas).

Kajian politik seperti ini sangat penting untuk dilakukan secara rutin. Pasalnya, keputusan mengenai hajat hidup orang banyak diputuskan di ruang-ruang politik. Oleh karena itu, mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar tidak boleh sampai buta politik.

“Buta paling buruk adalah buta politik. Dia yang buta politik adalah dia yang tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga-harga komoditas, obat, tepung, makanan, tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya akan lahir pelacuran, anak terlantar, politisi busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” (Bertolt Brecht)

Kak Fatwa sebagai pemateri membuka kajian politik ini dengan bertanya kepada para peserta Resensi Intensif mengenai definisi demokrasi. Ternyata, banyak peserta yang menjawab kurang tepat. Mereka masih memahami demokrasi dalam artian sempit, hanya sebatas tentang musyawarah dan pemilihan umum.

Diskusi yang dimoderatori oleh Andi Sarai ini berjalan dengan sangat menarik. Para peserta antusias dalam menjawab berbagai kemungkinan jawaban terkait definisi demokrasi. Kemudian, pemateri memberikan jawaban yang mind blowing, mendobrak batas berpikir para peserta Resensi Intensif di sore menuju senja kala itu. 

Berdasarkan penjelasan dari Kak Fatwa, dapat diambil kesimpulan bahwa selama ada rakyat, di situ pula ada demokrasi. Demokrasi memuat dua intisari, yaitu kedaulatan rakyat dan diamanahkan oleh rakyat. Itu artinya semua negara di dunia ini menganut bentuk pemerintahan demokrasi dengan caranya sendiri, terlepas dari sistem pemerintahan dan ideologinya. 

“Negara-negara dengan sistem pemerintahan presidensil, parlementer, monarki, dan lain-lain semuanya menganut demokrasi. Begitu pula dengan negara-negara yang menganut dua ideologi besar, baik liberalisme atau bahkan komunisme, semuanya adalah negara demokrasi”, lanjutnya.
Kak Fatwa juga memberikan pengetahuan baru mengenai demokrasi asli Indonesia. Bugis dengan tudang sipulung-nya, Gowa dengan batesalapang-nya (tujuh persekutuan), Bulukumba dengan ammatoa-nya, dan masih banyak lagi. Ini menandakan bahwa demokrasi sudah berjalan bahkan dari zaman kerajaan.

0 comments:

Posting Komentar