Infografis Resensi Intensif 3: Demokrasi Kita
“Apa yang terjadi sekarang adalah krisis demokrasi, atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat laun akan digantikan diktator.” Demokrasi Kita – Hatta
Pada tahun 1950-an, Indonesia mengalami krisis demokrasi. Negeri ini berada di persimpangan antara idealisme dan realita. Sebuah idealisme yang ingin melaksanakan demokrasi sebaik-baiknya. Sebuah realita yang memperlihatkan bahwa Indonesia justru bergerak jauh dari demokrasi itu sendiri.
Hal ini ditunjukkan dengan penggantian UUD 1950 kembali menjadi UUD 1945. Di UUD 1950, kita dapat melihat bahwa presiden adalah pemimpin konstitusional yang tidak berwenang atas pembentukan kabinet. Sementara itu, menurut UUD 1945, presiden adalah pemimpin eksekutif.
Tidak selang beberapa lama, presiden membuat Dewan Perwakilan Rakyat ‘baru’ yang sama sekali tidak diisi oleh orang-orang oposisi. Presiden menyampaikan pembenaran dengan menyatakan bahwa Indonesia yang baru merdeka ini masih berada di era revolusi, sehingga perubahan signifikan tersebut tidak mengapa.
Bahkan, menurut Presiden Soekarno, hal yang dilakukannya adalah menggerakkan Indonesia ke arah demokrasi yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan yaitu demokrasi ‘gotong royong’. Presiden Soekarno tidak ingin Indonesia menjalani demokrasi ala Barat, yakni demokrasi liberal yang menimbulkan free fight.
Oleh karena itu, Presiden mengubah bentuk demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi terpimpin. Dalam bukunya, Hatta menjalaskan bahwa demokrasi terpimpin, menurut Soekarno, ialah cara bekerja melaksanakan suatu program pembangunan yang direncanakan dengan suatu tindakan yang kuat di bawah suatu pimpinan.
Dengan adanya demokrasi terpimpin ini, kekuatan pemerintahan bukan lagi di parlemen, tapi bertumpu pada 2 badan bentukan baru, yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional. Dewan Perwakilan Rakyat hanya bertugas untuk memberikan dasar-dasar hukum kepada Presiden. Namun, pertimbangannya berada di tangan kedua badan tersebut.
Dari sini, kita dapat melihat bahwa tindakan perubahan UUD dan Dewan Perwakilan Rakyat, pembentukan 2 badan baru (Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional) yang semua anggotanya dipilih oleh Presiden, menunjukkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya mulai lenyap. Demokrasi terpimpin yang diusung oleh Presiden Soekarno hanya membawa kediktatoran.
0 comments:
Posting Komentar