OPTIMALISASI
DAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN TERLUAR, TERDEPAN, TERTINGGAL (3T) DALAM
MENDUKUNG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL (RPJMN) TAHUN 2025
(Resume
Seminar Nasional INOVASI UKM KPI UNHAS)
Baruga
A. P. Pettarani UNHAS MAKASSAR, 29 Oktober 2017
Pengembangan
kawasan terluar, terdepan dan tertinggal (3T) menjadi salah satu fokus
pemerintah belakangan ini. Pengembangan kawasan 3T dinilai akan berdampak pada
kemajuan bangsa. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memajukan ketiga kawasan
tersebut sebagaimana dapat kita lihat pada program-program pemerintah,
khususnya kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi.
Unit Kegiatan Mahasiswa Keilmuan dan Penalaran Ilmiah
Universitas Hasanuddin (UKM KPI UNHAS) memandang bahwa percepatan pengembangan
kawasan 3T dapat dilakukan dengan optimalisasi dan inovasi sumberdaya lokal
yang dimiliki oleh kawasan tertinggal tersebut. Dilatarbelakangi oleh hal itu,
UKM KPI UNHAS menyelenggarakan seminar nasional, INOVASI dengan mengangkat tema
“Optimalisasi dan Inovasi pengembangan kawasan terluar, terdepan, tertinggal
(3T) dalam mendukung rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJMN) tahun
2025”
Hadir sebagai pembicara pada seminar nasional ini, A. M.
Iqbal Parewangi (Anggota DPD Republik Indonesia), Hj. Indah Putri Indriani
(Bupati Luwu Utara), dan Nur Agis Aulia (Founder Banten Bangun Desa), ketiga
pembicara menyampaikan gagasan dan solusi terkait dengan kawasan 3T sesuai
dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing, sebagaimana akan dijelaskan
berikut ini:
“Bung Hatta pernah menyatakan bahwa Indonesia itu,
obornya ada di Jakarta. Tetapi obor itu tidak cukup untuk menerangi seluruh
Indonesia. Olehnya itu, kita perlu menyalakan lilin-lilin, dan lilin lilin itu
ada di daerah-daerah. Lilin-lilin itu hanya bisa menyala dengan adanya
inovasi-inovasi, bukan hanya dari pemerintah daerah tetapi juga seluruh anak
negeri.” Demikian pentingnya pengembangan kawasan 3T menurut Hj. Indah Putri
Indriani, Bupati Luwu Utara, bupati yang telah membangun daerahnya dan
melepaskan predikat ‘daerah tertinggal’ kabupaten yang dipimpinnya
Berbicara tentang kawasan 3T, problem
terbesarnya sampai saat ini bukanlah masalah pendanaan, sebab ada begitu besar
dana yang dialirkan ke pedesaan atau kawasan 3T tetapi masalah terbesar
ketertinggalan kawasan 3T sekarang ini adalah kurangnya sumberdaya manusia yang
memadai yang ada di kawasan 3T untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang
ada di daerahnya. Sarjana muda yang berasal dari kawasan 3T setelah
menyelesaikan pendidikannya, tidak lagi ingin kembali ke daerahnya
masing-masing. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang
ada di pedesaan.
Kondisi kurangnya sumberdaya manusia yang berkualitas di
kawasan 3T perlu disikapi dan disadari oleh semua kalangan, khususnya generasi
muda yang telah menyelesaikan pendidikannya di perkotaan untuk kembali
mengabdikan diri di kawasan 3T. Bukan berarti bekerja di perkotaan itu adalah
sebuah kesalahan, tetapi pembagian antara tenaga kerja berkualitas (dengan parameter
pendidikan) di pedesaan dan perkotaan (3T) harus proporsional. Nur Agis Aulia adalah
salah satu contoh sarjana muda yang kembali ke desanya di Banten dan
mengembangkan potensi sumberdaya yang ada di daerahnya dalam bidang pertanian
dan peternakan. Untuk diketahui, sebelum menyelesaikan pendidikannya dengan
predikat cumlaude Nur Agis Aulia
telah diterima untuk bekerja di sebuah BUMN, tetapi tawaran pekerjaan itu
ditolaknya dan lebih memilih kembali ke daerahnya dan menjadi petani dengan
omzet lebih dari 2 miliar setiap tahunnya. Intinya kata Nur Agis Aulia, inovasi
dan aksi nyata dari generasi muda sangat diperlukan untuk pengembangan kawasan
3T.
Selain itu, pemerintah pusat juga harus menetapkan
kebijakan yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keterbelakangan kawasan 3T.
Salah satunya menurut A. M. Parewangi adalah meng-otonomi khusus-kan semua
daerah di Indonesia. Selain itu, setiap daerah harus mampu melakukan diplomasi
alah Papua. Diplomasi khas Papua, adalah diplomasi yang didasarkan pada kata
“merdeka”. Diplomasi alah Papua adalah diplomasi yang diikuti oleh tiga
diskripsi. Teman-teman Papua sangat piawai berbicara dengan tiga hal, yaitu
kami miskin, kami bodoh, kami tertinggal dan lalu untuk itu melakukan diplomasi
merdeka dan untuk itu sebagai balasaanya diperolehlah 8 Triliun setiap
tahunnya.
Pada akhirnya, regulasi yang baik, dana yang memadai,
inovasi dari pemerintah daerah, hanyalah penopang semata, karena kunci
pengembangan kawasan 3T adalah ide, inovasi dan aksi nyata dari generasi muda
terbaik, yang dimiliki oleh bangsa ini. Generasi muda? Mari beraksi!