[OPINI] Menyaksikan Senyum Anak Pedalaman
MENYAKSIKAN
SENYUM ANAK PEDALAMAN
Oleh:
Abdul Masli
Relawan Sikola Inspirasi Alam (SIA)
Angkatan X
Mencerdaskan
kehidupan bangsa menjadi cita-cita yang telah lama dicanangkan oleh para founding fathers bangsa. Cita-cita yang
termaktub dalam semangat ke-Indonesia-an dikuatkan dengan tertuangnya dalam
naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan semangat ini lebih meyakinkan
dengan diaturnya anggaran negara khusus untuk bidang pendidikan. Sesuai dengan
pasal 31 ayat 4 yakni negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apa Kabar Cita-Cita Kita?
Kondisi
saat ini, spirit untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seolah terbentur oleh
persoalan antara ruang kota dan desa. Inilah yang mungkin tersirat dari sebuah
catatan Darmawan Salman dalam buku Sosiologi Desa. Konstruksi sosial atas ruang
meniscayakan adanya yang pusat dan yang terpinggirkan, adanya yang diluar dan
yang di dalam, adanya yang dekat dan yang jauh. Demikianlah desa pedalaman,
pinggir hutan, dan dataran tinggi di Indonesia terkonstruksi atas jarak dari
pusat kota, jarak dari pusat jalan, jarak dari pusat pasar, jarak dari pusat
kepadatan.
Data Badan Pusat Statistik bulan Maret 2010 dalam Salamony
(2011) memperlihatkan desa sebagai rumah bagi 19,93 juta orang miskin
Indonesia, dari total 32,53 juta orang miskin di negeri ini. Rumah yang di dalamnya
bermukim balita yang kekurangan gizi, ibu hamil dengan resiko melahirkan
berdampak kematian, anak-anak buta huruf, juga orang tua dengan kesehatan yang
jauh dari layak.[1] Data
tersebut kemudian mengambarkan kondisi yang cukup memperihatinkan. Terutama
stigma yang berkembang terkait perbedaan kota dan desa yang cukup tinggi, yakni
desa dipandang sebagai sesuatu yang terpinggirkan. Dilihat dari angka kemiskinan
yang cukup tinggi dari total jumlah orang miskin di Indonesia.
Dibalik
konstruksi sosial tersebut, Salman dengan kalimat persuasifnya membangun sebuah
harapan dengan syarat nyata lewat pergerakan. Kalimat tersebut berbunyi “bergeraklah dari kota, tinggalkanlah jalan
raya, dan mejauhlah dari keramaian, maka
dengan itu anda menuju ke pedalaman, anda menuju pinggir hutan, anda menuju
dataran tinggi”. Hal yang pasti bahwa arah gerakan itu menuju desa, yang di
dalamnya terdapat banyak pelajaran hidup, nilai, dan kearifan lokal yang masih
terjaga. Terutama, kita akan menemukan yang namanya romantisme desa yang penuh
kejutan akan kenangan indah. Karena desa menurut Kartohadikoesoemo (dalam
Salman, 2012: 2) adalah tanah asal, tanah air, dan tanah kelahiran. Tanah yang
menurut hemat saya tempat tersimpannya romantisme kenangan dan identitas
terbentuk.
Pendidikan Anak Pedalaman
Ditengah
kemeriahan dan kemilau pendidikan di negeri ini. Melihat dari keseriusan
kebijakan dan anggaran yang berlimpah bagi pendidikan. Ternyata terselip sebuah
realitas berbeda. Entah ini menjadi fenomena yang biasa bagi orang lain. Namun
bagi saya kondisi pendidikan anak pedalaman yang notabenenya berdiri diatas
negara yang kaya raya, masih jauh dari kata pendidikan yang layak.
Ketika
saya berada di kampung Lappara pertengahan bulan Februari lalu, kusaksikan
sebuah realita tentang pendidikan di balik kemilau keagungan kota. Mereka
generasi muda yang seharusnya berada dibangku sekolah, telah bekerja membantu
keluarga, baik di bidang pertanian maupun peternakan. Pukul 7 pagi yang umumnya
ketika saya duduk di bangku sekolah dasar, telah siap berangkat dengan seragam
merah putih dan sepatu hitam berkaos kaki putih, ternyata berbeda dengan
anak-anak di kampung Lappara. Mereka ketika pagi hari, masih ada yang membantu
keluarga memberi makan ternak Sapi dan mengambil makanan untuk Kambing. Bahkan
ketika kentongan bambu telah dibunyikan dengan sorakan “Sikola” belum cukup untuk menjadi panggilan. Mereka masih harus dijemput
ke rumahnya, bahkan mencarinya di kebun miliki keluarganya. Seperti halnya
ketika hari pertama saya berada dilokasi dan akan melaksanakan upacara bendera
pertama bersama relawan pengajar dan siswa sikola inspirasi alam.
(Aktivitas
Berlajar di Sekolah Alam Lappara)
Ketika
saya menjemput salah satu siswa dirumahnya, saya berbicara bersama salah satu orang
tua siswa, ia mengatakan harapan besar ingin melihat anaknya memiliki ijazah.
Kutipan tersebut berbunyi “saya sangat
ingin menyekolahkan anak saya. Saya ingin melihat mereka pergi ujian, dapat
ijzah. Makanya saya suruh ke bawah untuk ujian, tapi tidak mau karena malu,
besarmi. Sisa adiknya saya mau suruh turun nanti, semoga ia mau ujian”.
Dibalik kutipan tersebut tersimpan makna, bahwa karena persoalan umur,
anak-anak di kampung Lappara, mengalami kendala untuk sekolah, meskipun mereka
memiliki semangat tinggi ketika saya berdialog langsung dengan anak mereka.
Dari
beberapa alasan yang saya dengar dari anak-anak tersebut, ada pernyataan yang
cukup mengherankan tentang realitas pendidikan di kampung Lappara ini. mereka
awalnya pernah sekolah, tapi karena persoalan guru yang sudah lama tidak hadir,
maka pengetahuan mereka pun lambat laun berkurang. Mereka yang awalnya mampu
menguasai perkalian, penjumlahan, membaca dan menulis dengan lancar, kian
berkurang karena jarang latihan berulang sebagai akibat kevakuman pendidikan
mereka. Hal ini saya saksikan langsung ketika mencoba mengupgrade kemampuan
salah seorang murid. Kemampuan murid tersebut secara konsep bisa, tapi
memerlukan waktu yang cukup lama. Bahkan menurut pengakuan Lukman, salah satu
murid yang sempat saya ajak cerita dan jalan-jalan keliling kampung “dulu saya sekola, lancar hafalan perkalian
1 sampai 10, pintar membaca, mengaji juga bisa, tapi karena sudah lama tidak
pernah datang guruku mengajar, jadi agak kulupa-lupami”. Kurang lebih
seperti itulah ujaran dari salah satu generasi muda harapan bangsa ditanah
Lappara.
Kutipan
tersebut menggambarkan kondisi dimana ketika mereka mulai jarang berinteraksi
dengan guru, seketika pula mereka mulai lupa dengan pelajaran yang telah
diberikan sebelumnya. Kondisi tersebut menggambarkan, sebuah realitas
pendidikan anak pedalaman, bukan persoalan mereka tidak mau belajar, melainkan
karena persoalan tenaga pendidik yang tidak ada. Selain konteks tenaga pendidik
yang kemudian berpengaruh pada proses belajar anak, realitas lain yang dapat
dilihat sebagai sebuah keterpinggiran bagaimana kondisi sekolah yang hanya ada
satu gedung, terbuat dari dinding bambu, beralaskan tanah, bahkan tiang yang
mulai rapuh, menjadi sebuah realitas keterpinggiran yang sangat nyata.
Penghargaan dan Harapan: Sebuah Catatan Refleksi
“senyuman yang kau hadirkan adalah penghargaan dan
tanda harapan itu masih ada”
Kutipan
tersebut mungkin bisa menjadi gambaran awal kebahagiaan atas rasa lelah yang
ada. Kegiatan mengajar secara sukarela sebagai seorang relawan yang telah
menguras tenaga, mampu tertutup oleh senyuman indah dari wajah-wajah tulus anak
muda harapan bangsa di kampung Lappara. Mereka yang belajar dengan fasilitas
seadanya, masih bisa tersenyum bahkan tertawa lepas bercanda bersama dengan
kami yang baru mereka temui.
Selepas
upacara pagi, kami yang menjadi relawan mengambil posisi berbaris, sementara
para siswa dengan rapi berjalan mengambil satu persatu tangan dan berjabak. Tak
sampai disitu, selepas berjabak tangan, kemriahan bersama dilanjutkan dengan
permainan kereta api. Nyanyian masa kecil nai-naik kereta api, menjadi nyanyian
yang menyenangkan. Rasa minder karena umur yang mungkin sudah diatas remaja,
melebur bersama suara mungil dan canda tawa lepas anak pedalaman di pagi itu.
Intinya sangatlah menyenagkan dan mengingatkan diri pada masa kanak-kanak
sering bermain bersama dengan teman sepermainan masa kecil, yang mungkin hari
ini telah menuntut ilmu diperguruan tinggi, mungkin pula ada yang sudah bekerja
bahkan berkeluarga. Hehehe.
Selama
menjadi relawan, ada banyak kesan yang menjadi pelajaran sekaligus teguran
nyata terhadap diri. Mulai dari aktivitas pagi, siang, sore, hingga malam.
Inilah yang menjadi pegangan tersendiri bagi saya, bahwa sesungguhnya ketika
kita ingin melihat kejadian yang sebenarya, maka turun dan rasakan hidup
bersama masyarakat. Sebagai penutup saya ingin mengutip puisi Robert Frost dalam
catatan James Tooley. Puisi aslinya berbahasa “Inggris”, tapi saya kutip dalam
bahasa “Indonesia” judulnya Berhenti di
Tepi Hutan Kala Senja Bersalju. Puisi ini menarik bagi saya, terutama di bait
akhir yang menekankan kuatnya pendiriaan akan janji yang mesti ditunaikan.
Semoga pusi ini membangun kesadaran, mewujudkan pengabdian dalam butir tri
dharma perguruan tinggi sebagai janji bersama.
Siapa pemilik hutan ini sepertinya
kutahu
Rumahnya jauh di desa sebelah sana;
Dia takkan melihatku singgah disini
Memandangi hutannya tertutup salju.
Kuda kecilku pasti bertanya-tanya
Mengapa berhenti jauh dari rumah
siapa-siapa
Di antara hutan dan danau beku
Senja terkelam sepanjang masa
Ia guncangkan genta kecilnya
Bertanya adakah yang tak biasa.
Suara lain yang terdengar hanyalah
sapuan
Dari angin lembut dan guguran salju
di udara.
Hutan ini menawan, dalam, dan
gelap.
Tapi aku punya janji yang tak boleh
tersilap,
Dan bermil perjalanan sebelum
terlelap,
Dan bermil perjalanan sebelum
terlelap.
DAFTAR PUSTAKA
MPR RI. 2014. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI.
Salamony, Rooy. 2011. Fenomena Desa. Dapat diakses pada http://www.kompasiana.com/rooysalamony2011/fenomena-desa_5516e2aaa333116070ba8c1f tanggal akses 13 April 2017, pukul 00.32 WITA.
Salman, Darmawan. 2012.
Sosiologi Desa: Revolusi Senyap dan
Tarian Kompleksitas. Makassar: Ininnawa.
Tooley, James. 2013. Sekolah untuk Kaum Miskin. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.
[1] Dikutip dari
artikel bertajuk Fenomena Desa, diakses
melalui http://www.kompasiana.com/rooysalamony2011/fenomena-desa_5516e2aaa333116070ba8c1f pada tanggal 13 April 2017
0 comments:
Posting Komentar