BENARKAH
“RELAWAN”?
(Catatan
Lanjutan Tentang Menjadi “Orang Luar”?)
Oleh:
Abdul
Masli
E-mail:abdulmasli01@gmail.com
Panorama alam
desa pedalaman
“Datang dengan suka cita, pulang dengan
suka ria”
Kutipan
tersebut bagi saya menjadi point penting yang coba disampaikan oleh kak Ria, Kepala
Sikola Inspirasi Alam (SIA) Periode 2017-2018, pada kegiatan besseng-besseng di gedung IPTEKS Unhas,
5 Agustus 2017 sebagai motivasi ataupun pesan dari refleksi diri selama menjadi
relawan di SIA. Besseng-besseng yang
bagi saya bermakna musyawarah, termasuk ide yang kreatif, dibanding istilah
rapat. Oh iya, kita kembali ke pembahasan, bahwa kakak-kakak relawan SIA yang
hadir membahas tentang tujuan Sikola yakni membangun pendidikan anak pedalaman.
Visinya untuk periode 2017-2018 yakni lebih kepada melahirkan generasi terdidik
(semoga tidak salah), yang jelas tujuannya saya rasa akan mengarah pada
bagaimana mewujudkan pendidikan sebagai program “memanusiakan manusia” atau
humanisasi. Kemudian pembahasan intinya adalah bagaimana program kerja untuk
kelanjutan program SIA Periode 2017-2018.
Istilah
tentang pendidikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia, saya coba melihat
konsep pendidikan kritis ala Paulo Freire, apalagi sekarang lagi
hangat-hangatnya perumusan konsep pengaderan di berbagai lembaga mahasiswa
kampus tempat saya belajar. Pengaderan yang dianggap sebagai proses pendidikan,
maka beberapa lembaga mahasiswa mulai melihat konsep pendidikan kritis sebagai tujuan
yang ingin dicapai, hal ini karena dalam pendidikan kritis mengajarkan tentang mewujudkan
kesadaran. Bagi Freire pendidikan mesti memanusiakan manusia, yakni manusia yang
menyadari dirinya dan realitas lingkungannya, kemudian mampu merefleksi diri dan
bertindak. Lantas, sudahkah kita mewujudkan tujuan pendidikan sebagai proses
“humanisasi”? silahkan muhasabah diri
sendiri. Dalam catatan ini, saya hanya akan mencoba menuliskan pengalaman dan
hipotesa dari pengamatan singkat selama bergabung dalam komunitas relawan
pendidikan.
“Orang Luar” Melihat “Orang Dalam”: Sebuah
Pelajaran dari Pengalaman
Dalam
tulisan saya sebelumnya (Menjadi “Orang Luar”?), telah disinggung sedikit bagaimana
orang luar terperangkap karena pengalaman dan kenaifan diri, diperparah dengan
anggapan bahwa dirinya memiliki pengetahuan karena sekolah tinggi-tinggi, atau
karena statusnya yang dianggap lebih baik dibanding orang desa, selanjutnya
diperparah dengan kunjungan singkat ke desa dan menyimpulkan secara
tergesa-gesa. Seperti pendapat Robert Chambers berikut.
“Pengalaman langsung kebanyakan ‘orang
luar’ tentang kehidupan di desa, terbatas pada kunjungan singkat yang dilakukan
tergesa-gesa, semacam ‘turba’ yang bukan ‘turun ke bawah’ tetapi ‘turisme
pembangunan”. (Chambers, 1987: 2).
Dari
kutipan tersebut, saya teringat terhadap pengalaman selama menjadi relawan dan
ikut bergabung dalam beberapa kegiatan SIA. Ada banyak pengalaman yang menarik
selama kegiatan. Namun, yang menyedihkan bahwa benar, selama ini kunjungan
singkat dan dugaan terhadap orang pedalaman adalah ketertinggalan dan
pinggiran. Intinya apapun tentang orang dalam seolah identik dengan kemiskinan
bahkan ilmu pengetahuan yang kurang, sementara orang luar merasa orang yang
paling tahu berbagai hal. Padahal yang mesti kita sadari bahwa masyarakat
adalah guru bagi kita, dari mereka mengajarkan tentang usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidup dalam kondisi sulit, hubungan sosial yang sangat kuat, serta
keberagaman budaya dengan sikap toleransi yang sejati menciptakan perdamaian
dapat kita jumpai di desa pedalaman.
Prasangka Menjebak tentang Kemiskinan
Kemiskinan
menjadi isu sentral yang sering dibahas terutama yang berhubungan dengan
pebangunan. Bahkan 17 program SDGs 2030 selanjutnya saya coba rangkum menjadi 3
tujuan utama yakni mengarah pada bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
terwujudnya keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Tapi, berbicara
tentang kemiskinan seringkali kita (orang luar) terjebak dalam
prasangka-prasangka pribadi. Menurut Chambers (1987), terdapat enam prasangka
yang sangat menonjol yakni (1) Prasangka keruangan: kota, terminal, dan
jaringan jalan raya; (2) Prasangka proyek; (3) Prasangka kelompok sasaran; (4)
Prasangka musim kemarau; (5) Prasangka diplomatis: sopan-santun dan malu-malu;
dan (6) Prasangka profesional.
Prasangka
keruangan, merupakan prasangka yang meramal kondisi daerah pedesaan diperoleh
dari atas kendaraan. Bermula dan berakhir di pusat kota, kunjungan menuruti
jaringan jalan, bahaya jalan yang berdebu, kenyamanan pengunjung, lokasi yang
dikunjungi dan tempat menginap, risiko kehabisan bahan bakar dan waktu, menjadi
komplikasi dalam prasangka terhadap kemiskinan. Bahkan prasangka keruangan
kadang menjadi jarak yang menghalangi untuk melihat realitas kemiskinan di
pedesaan. Prasangka ini menguatkan kota sebagai tujuan utama dibanding ke desa
jika ingin tinggal menetap, kecuali untuk datang berwisata menikmati keindahan
desa.
Kasus
di atas, seolah menjadi prasangka yang ikut mewarnai beberapa pandangan saya
ketika menjadi relawan pengajar di Sikola Inspirasi Alam. Awalnya niat
mengikuti kegiatan tersebut selain karena perasaan yang ingin belajar dan
berbagi bersama anak-anak pedalaman yang kurang beruntung menikmati program
pendidikan sebagaimana mestinya. Ternyata, ketika saya mencoba merefleksikan diri,
terselip sebuah niat untuk jalan-jalan menikmati suasana desa yang indah,
sampai pada akhirnya tulisan ini terwujud. Tapi ketika kita mengambil definisi
“memanusiakan manusia” sebelumnya di awal tulisan, maka ini menjadi proses yang
mengalir, dimana saya mulai berpikir dan mulai bertindak meskipun hanya sedikit.
Lagi-lagi pertanyaan muncul benarkah diri ini menjadi “relawan”?. Ah sudahlah,
yang jelaskan ada juga istilah-istilah yang menurut saya sebagai alasan untuk
mengelak yakni “I’m Relawan and
Wisatawan”.
Selanjutnya
prasangka tentang proyek. Dalam tulisan lanjutan Chambers, terjelaskan bahwa
proyek ini menempatkan staf proyek untuk menanggung sebagian dari kesalahan
karena penyusunan laporan pemimpin proyeknya sendiri. Laporan-laporan yang
disusun masih terbuai dengan mitos yang dihidup-hidupkan dengan buaian
kepercayaan terhadap kekuatan moral. Sebagian proyek kadang hanya melengkapi
laporan penelitian sebelumnya, namun tidak melakukan riset mendalam. Inilah
yang disebut bahwa mitos yang membangun kepercayaan terhadap kekuatan moral
dalam sebuah proyek orang luar, di dalamnya tertanam tragedi karena proyek
tersebut setapak demi setapak didorong ke arah kepalsuan diri, kebanggaan
kosong, pembenaran diri, dan berakhir dengan penelanjangan (Chambers, 1987:
25).
Dalam
kegiatan relawan seringkali orang luar mengarah pada dramatisasi dari sasaran
sebuah program. Gambaran umum sasaran program seringkali digambarkan begitu
tragis, sehingga memicu pada rasa kasihan. Hal ini kemudian dimanfaatkan sebagai
jalan mengalang donasi. Tapi, dalam diri kadang berkecamuk tanda tanya, apakah
benar seorang relawan dengan cara menyiarkan kesengsaraan dari sasaran
program?. Tapi, jika dilihat secara positif, jalan ini bisa menjadi sebagai
solusi alternatif kritik terhadap praktisi pembangunan dalam melihat realitas
yang ada di sekitar kita. Semoga cara seperti ini membawa manfaat bukan justru
membawa kelompok sasaran program ke arah kesenjangan. Hal ini bukan tanpa alasan,
karena kadangkala gambaran yang disiarkan berbeda ketika dilapangan, pengawasan
perlu di tingkatkan, mengingat ada segelintir elit (tokoh) yang berbenturan,
inilah yang kemudian masuk ke dalam prasangka kelompok sasaran, yang kadang
kala berakibat fatal terhadap sebuah program kerelawanan.
Untuk
prasangka musim kemarau menjadi salah satu prasangka yang kadang menjebak. Hal
ini karena kadang-kadang orang luar mendatangi desa pada saat musim kemarau,
sementara secara umum harus dipahami bahwa dalam satu tahun setidaknya akan
berlangsung dua musim yakni musim kemarau dan musim penghujan. Kemudian kondisi
terburuk yang sering terjadi adalah kadangkala orang luar (peneliti) malas
datang ke desa ketika kondisi penghujan. Menurut Chambers (1987) banyak
tamu-tamu pedesaan yang berlatar belakang perkotaan telah menjadwalkan kunjungannya
sesuai musim dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti berikut.
“Para
mahasiswa pasca-sarjana percaya akan teori umum, bahwa musim hujan tidak baik
untuk meneliti desa, karena pakaian basah kuyup dan sepatu penuh lumpur”
Menikmati
panorama alam nusantara
Namun, dari contoh tersebut, kadang
berbeda dengan kondisi relawan. Kadangkala mereka tetap berangkat dan
melaksanakan program. Tapi, kondisinya adalah mereka hanya melakukan kunjungan
singkat, kemudian beraktivitas dan pulang dengan cerita. Seperti halnya kondisi
yang saya alami, bergabung dalam sebuah relawan pendidikan anak pedalaman,
tinggal dan menetap selama kurang lebih tiga hari di lokasi, berinteraksi
dengan masyarakat, kemudian pulang dengan oleh-oleh gambar diri berbingkai keindahan
dari alam nusantara.
Prasangka
diplomatis menjadi salah satu bayangan terhadap pandangan orang luar tentang
kemiskinan di desa. Pandangan yang kadang menjadi batas diri terhadap
keterbukaan orang desa karena perilaku sopan-santun dan malu-malu mengiring
seseorang menjadi terkesan kaku dalam beriteraksi. Perilaku orang luar sering
memandang orang miskin di desa berbeda statusnya, lebih terpandang, dan
berpendidikan. Akibatnya perasaan malu dan takut muncul untuk mendekati,
menemui, mendengarkan dan belajar dari rakyat desa itu sendiri. Pertanyaan yang
mendalam pun sering terlupakan karena sikap yang cenderung inklusif menjadi
akibat yang sering muncul dari prasangka diplomatis ini. Seperti pendapat
Robert Chambers (1987) berikut.
“Orang
kota sering dihinggapi rasa rikuh dalam menghadapi rakyat desa yang miskin,
karena dihambat rasa sopan-santun dan malu. Mereka takut mendekati, menemui,
mendengarkan dan belajar dari rakyat desa”
Berbeda
dengan relawan, kadang solusi terhadap kasus prasangka diplomatis ini justru
hadir dari mereka. Pendekatan sederhana seperti hadir di tengah masyarakat
desa, kemudian duduk, bertanya dan mendengar menjadi praktik yang sering
diterapkan. Sikap belajar dengan masyarakat miskin di desa pun lebih dominan
diterapkan. Meskipun terkadang, kegiatan relawan ini masih terbentur oleh
pemilihan dan pandangan terhadap tokoh masyarakat karena anggapan bahwa mereka
lebih mengetahui banyak hal, program yang kadang buru-buru dan terlalu egois
terhadap pandangannnya sendiri tanpa data penunjang. Tapi terlepas dari kendala
itu, setidaknya kehadiran relawan di desa, menjadi salah satu solusi dan aksi
nyata yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam memikirkan cara mengatasi
kesejangan sosial di desa.
Prasangka
professional sendiri merupakan prasangka yang kadang ada pada orang luar dengan
menganggap dirinya sebagai orang yang paling tahu segala hal. Sementara
kearifan yang dimiliki oleh warga desa kadang terabaikan. Prasangka ini
cenderung mengarah pada spesialisasi profesi dengan melihat keunggulan
seseorang. Status gelar kadang menjadi salah satu contoh yang sering terlihat.
Akibat dari prasangka ini lebih kepada kondisi dimana kaum profesional lebih
banyak melakukan sesuatu dengan caranya sendiri, sehingga mereka cenderung
mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terbuka karena pandangan sebagai
diri yang lebih menguasai suatu bidang yang lebih professional. Intinya
prasangka ini lebih menitikberatkan pada kondisi orang luar yang merasa dirinya
lebih hebat dibanding masyarakat atau lebih kepada kondisi profesionalime yang
sempit. Menurut Chambers (1987) profesionalisme
yang sempit mengarah pada penelaahan dan
cara penanggulangan yang tidak tuntas, karena hanya memperhatikan dan menyentuh
salah satu seginya saja.
Misal
pengalaman yang pernah saya alami, sebelum berangkat ke lokasi pengabdian
relawan untuk mengajar pendidikan bagi anak pedalaman. Setiap tim yang dibagi
dengan masing-masing fokus pengajaran, menyiapkan media pembelajaran. Saya
kemudian bersama tim kelas formal yang di dalamnya ada pelajaran Matematika dan
Bahasa Indonesia menyiapkan model pembelajaran sederhana dan rangkaian huruf.
Namun ketika di lokasi, realitas berbeda yang kami hadapi. Ketika hari pertama,
anak-anak sulit memahami pelajaran yang diajarkan ketika menggunakan media
pembelajaran yang disiapkan. Akhirnya pada hari kedua pengabdian, metode kami
ubah dan menggunakan media alam sekitar yang sudah akrab dengan mereka.
Akhirnya mereka pun dengan mudah mengerti apa yang kami ajarkan. Satu pelajaran
yang dapat diambil dari contoh ini, bahwa prasangka professional (“sok tahu”)
merupakan prasangka yang terkesan naïf dan buru-buru karena hanya mengandalkan
sisi etik orang luar dibanding emik masyarakat sasaran. Sehingga yang
dilihatnya pu hanya kulit bagian terluarnya.
Namun,
terlepas dari berbagai prasangka diatas, pada intinya bahwa menjadi relawan
akan banyak pelajaran hidup yang didapat. Kehidupan sederhana namun bahagia
bisa kau dapat terutama menjadi relawan di desa pedalaman. Hubungan solidaritas
masyarakat yang masih kental dengan pengetahuan lokal, semangat gotong royong,
kesadaran diri terhadap realitas di lingkungan sendiri bisa membangun sikap
sosial, pengelolaan konflik pun dapat ditemui ketika menjadi relawan, bahkan
kepuasan diri lewat potret dengan latar alam menjadi salah satu oleh-oleh yang
sulit untuk dilupakan. Aksi nyata bukan lagi sekedar retorika yang tergambar
jelas, dan menjadi relawan semoga membawa manfaat dunia dan bermanfaat di
akhirat kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Chambers,
Robert. 1987.Pembangunan Desa: Mulai dari
Belakang. Jakarta: LP3ES.